Thursday 20 May 2010

zeolit alam

BAB I

PENGANTAR

Dalam bab ini akan diuraikan latar belakang yang mendasari dilakukannya penelitian dan tujuan penelitian.

I.1 Latar Belakang

Batubara merupakan sumber energi alternatif paling menonjol di Indonesia. Ketersediaannya cukup besar, sampai Mei 1992 cadangan batubara yang telah diinventarisasi mencapai 5,5 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 40 juta ton pada tahun 2004 (Mangunwijaya, 1993).

Peningkatan aktivitas PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara membawa konsekuensi peningkatan limbah padat berupa abu layang sebagai sisa pembakaran batubara, yang menimbulkan akibat negatif pada lingkungan terutama kesehatan manusia. Oleh karena itu upaya alternatif pemanfaatan abu layang menjadi sangat penting.

Komposisi abu layang terbesar adalah SiO2 kira-kira 20-70 % dan Al2O3 kira-kira 10-40 % berat abu layang (Lishmund, 1973). Shigemoto dkk. (1993) menemukan kadar SiO2 dalam abu layang sebanyak 55,4 % dan Al2O3 sebanyak 25,3 %. Singer dan Berckgaut (1995) mengemukakan bahwa biasanya fasa kristal utama dalam abu layang adalah kuarsa dan mulit serta sejumlah rumut magnetit, sedangkan menurut Lin dan His (1995) dalam abu layang ditemukan juga adanya hematit. Hasil analisis kimia abu layang sisa pembakaran batubara dari PLTU Suralaya menunjukkan komposisi SiO2 sebanyak 38,24 % dan Al2O3 sebanyak 29,82 % serta beberapa oksida anorganik lainnya termasuk hematite dan magnetit dalam jumlah kecil.

Jumlah silica (SiO2) dan alumina (Al2O3) yang cukup besar dalam abu layang memberikan kemungkinan pemanfaatan abu layang sebagai bahan dasar utnuk pembuatan zeolit. Fajril Akbar (1996) melalukan sintesis zeolit 4A dengan cara merefluks abu layang dalam larutan NaOH. Zeolit 4A yang dihasilkannya secara komersial kurang disukai karena masih berwarna abu-abu. Warna tersebut diperkirakan sebagai akibat tercampurnya komponen-komponen pengotor dalam zeolit hasil sintesis. Darwanta (1997) memperbaiki tampilan warna zeolit 4A dengan melakukan dekomposisi abu layang menggunakan larutan campuran asam sulfat dan asam nitrat dengan perbandingan 1 : 1. Dekomposisi tersebut mampu mengurangi pengotor anorganik seperti Fe2O3, CaO dan TiO2 dalam abu layang. Zeolit 4A yang dibuat dengan bahan dasar abu layang hasil dekomposisi memberikan tampilan warna lebih putih dibanding yang dibuat dari abu layang asal tanpa dekomposisi. Namun demikian dekomposisi abu layang yang dilakukan Darwanta (1997) juga menyebabkan terdekomposisinya alumina yang merupakan komponen utama dalam sintesis zeolit 4A. Sementara itu, derajat kristalinitas zeolit 4A hasil sintesis Darwanta (1997) tidak jauh berbeda dengan derajat kristalinitas zeolit 4A hasil sintesis Fajril Akbar (1996). Hal ini diperkirakan sebagai akibat kurang sempurnanya dekomposisi pengotor yang ada dalam abu layang, yakni Fe2O3, CaO dan TiO2 yang terdekomposisi berturut-turut sebanyak 76,1; 15,9 dan 22,9 %.

Shigemoto dkk. (1993) melakukan sintesis zeolit dengan bahan dasar abu layang tanpa dan dengan penambahan alumunium dari senyawa natrium aluminat. Hasilnya menunjukkan pada sintesis zeolit tanpa penambahan alumunium diperoleh produk utamanya zeolit Na-X, sedangkan pada sintesis zeolit dengan penambahan aluminium didapatkan produk utamanya zeolit Na-A. Sementara itu Catalfamo dkk. (1994) menemukan bahwa material-material dengan kandungan ion kalsium ³ 3 % berat material tidak dapat dikonversi menjadi zeolit, akibat terjadinya interaksi spesifik antara ion kalsium dengan silikat yang melarutkan gel aluminasilikat. Interaksi ion kalsium dengan silikat dapat ditekan sekecil mungkin dengan penambahan EDTA, yang dapat membentuk kompleks secara selektif dengan ion kalsium.

Oleh karena itu dalam rangka berupaya memperoleh zeolit 4A dengan kristalinitas dan kemurnian lebih baik serta penampakan warna lebih putih dilakukan pemurnian abu layang sebagai bahan dasar (sumber silika dan alumina) untuk sintesis zeolit dikombinasikan dengan penambahan alumunium dan EDTA. Dalam penelitian ini upaya pemurnian abu layang dilakukan melalui pemisahan secara magnetik dimaksudkan utnuk menghilangkan komponen bersifat magnetik seperti oksida-oksida logam pengotor yang terdapat dalam abu layang. Sedangkan pemisahan secara fraksinasi dimaksudkan untuk mendapatkan fraksi abu layang non magnetik yang memiliki komposisi silika dan alumina amorf maksimal dengan kadar pengotornya yang relatif kecil. Sisa-sisa oksida logam pengotor yang mungkin masih tertinggal dalam abu layang non magnetik, dikenai perlakuan kompleksasi dengan senyawa EDTA. Adapun penambahan Al(OH)3 dimaksudkan untuk mengantisipasi kurangnya pasokan alumunium yang diperlukan pada pembentukan struktur zeolit 4A.

I.2 Tujuan Penelitian

Tujuan utama yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah memperoleh kondisi optimum sintesis zeolit 4A dari bahan dasar abu layang. Secara khusus penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

  1. Mengetahui pengaruh pemisahan abu layang secara magnetik terhadap kristalinitas dan kemurnian zeolit 4A hasil sintesis.
  2. Memperoleh fraksi abu layang non magnetik yang dapat menghasilkan zeolit 4A dengan kristalinitas dan kemurnian tinggi.
  3. Mengetahui pengaruh penambahan Al(OH)3 dan EDTA terhadap kristalinitas dan kemurnian zeolit hasil sintesis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan tinjauan pustaka, landasan teori dan hipotesis yang diajukan pada penelitian ini.

II.1 Tinjauan Pustaka

Zeolit 4A merupakan salah satu tipe zeolit sintetis yang memiliki struktur khas, penggunaannya sangat luas dalam proses penyaringan dan penyerapan molekul serta sebagai penukar ion seperti dalam proses pengeringan gas dan cairan, pemisahan normal parafin dari iso-parafin dan sebagai pembangun dalam deterjen (Imbert dkk., 1994). Menurut Greek dan Layman (1989), Schwuger dan Liphard (1987), bahan pembangun deterjen dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu pembangun deterjen yang larut dalam air, seperti natrium karbonat dan pembangun deterjen yang terdispersi dalam air, seperti zeolit. Penggunaan zeolit sebagai pembangun deterjen selain harus memenuhi syarat-syarat ekologi dan toksikologi juga harus memenuhi pertimbangan praktis dan ekonomis. Oleh karena itu sedapat mungkin zeolit harus disintesis dari bahan-bahan alam atau limbah.

Murat dkk. (1992) telah berhasil mensintesis zeolit 4A dari bahan alam kaolin yang telah dikalsinasi melalui perlakuan hidrotermal dalam media alkali. Kemudian Imbert dkk. (1994) juga telah berhasil mensintesis zeolit A dari bahan alam kaolin Venezuela yang telah dikalsinasi pada suhu optimum 750 °C. Selain itu sebuah metode sintesis zeolit A dan zeolit X dengan menggunakan bahan dasar bentonit dari berbagai daerah di Yugoslavia telah berhasil dikembangkan oleh Drajz dkk. (1980) dalam Darwanta (1997).

Hasil penelitian Shigemoto dkk. (1993) menunjukkan bahwa abu layang yang direaksikan dengan larutan NaOH dalam kondisi hidrotermal pada suhu 100 °C menghasilkan beberapa tipe zeolit seperti Na-PI, Na-A dan hidroksi sodalit. Kemudian dari penelitian berikutnya didapatkan bahwa peleburan abu layang dan NaOH yang diikuti reaksi hidrotermal pada suhu 100 °C tanpa pengadukan menghasilkan zeolit Na-X dan bila ke dalam campuran reaktan abu layang dan NaOH ditambahkan alumunium maka terbentuk zeolit Na-A.

II. 2 Landasan Teori

II.2.1 Abu Layang

Abu layang merupakan sisa pembakaran batubara yang menjadi limbah buangan dari suatu pembangkit listrik tenaga uap. Abu sisa pembakaran batubara pada dasarnya dibedakan atas dua macam berdasarkan berat jenisnya yakni abu fraksi ringan yang dikenal dengan sebutan abu layang (fly ash) dan abu fraksi berat yang dikenal sebagai abu tungku (bottom ash). Abu tungku merupakan abu yang dihasilkan pada tungku pembakaran sedangkan abu layang adalah abu yang keluar dari cerobong berupa serbuk halus.

Abu layang bersifat khas berupa partikel halus bundar (cenosphere) dengan diameter 1-100 μm yang mengandung silica dan alumina sebagai komponen kristal utama dan beberapa komponen amorf. Beberapa komponen kristal yang biasa terdapat dalam abu layang adalah kuarsa (SiO2), mulit (3Al2O3.SiO2), hematite (Fe2O3), magnetit (Fe3O4) dan muskovit (K.Al2S3.AlO10(OH)2). Mulit dan kuarsa dalam abu layang merupakan sumber utama alumina dan silica untuk penyusunan zeolit. Mulit tersusun dari 27,8 % SiO2 dan 71,5 % Al2O3 sedangkan kuarsa mengandung SiO2 > 99 %. Hasil analisis kimia Lishmund (1973) menunjukkan bahwa di dalam abu layang terdapat 20-70 % SiO2 dan 10-40 % Al2O3. Sementara itu Shigemoto dkk. (1993) melaporkan kandungan SiO2 dalam abu layang sebanyak 55,4 % dan Al2O3 sebanyak 25,3 %. Fajril Akbar (1996) melaporkan hasil analisis kimia terhadap abu layang dari PLTU Suralaya yang mengandung 33,65 % SiO2 dan 28,37 % Al2O3.

II.2.2 Struktur dan sifat kimia zeolit

Zeolit didefinisikan sebagai kristal aluminasilika dengan susunan kerangka tiga dimensi yang terbentuk dari tetrahedral aluminat (AlO4) dan silikat (SiO4) yang saling berhubungan melalui penggunaan bersama atom-atom oksigen untuk membentuk rongga-rongga berdimensi molekular yang teratur. Secara sederhana struktur zeolit dapat dibayangkan seperti sebutan sarang lebah dengan rongga-rongga yang terbentuk dari hubungan tetrahedral-tetrahedaral alumina dan selika (King, 1994).

Rumus molekul zeolit biasanya dituliskan sebagai berikut:

Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y].zH2O dengan Mx/n adalah kation bervalensi n yang terdapat di luar kerangka struktur zeolit, [ ] adalah kerangka zeolit aluminasilika dan H2O adalah air kristal di luar kerangka zeolit.

Raio Si/Al (y/x) di dalam kerangka zeolit menentukan struktur dan sifat-sifat zeolit. Sebagai contoh di dalam zeolit A yang memiliki rasio Si/Al =1, maka setiap atom Si terikat dnegan atom Al melalui atom oksigen, begitu juga sebaliknya. Aturan Lowenstein (yang menolak hubungan Al-O-Al) mengemukakan bahwa secara umum di dalam zeolit A terdapat rasio Si/Al sama dengan 1, tetapi dimungkinkan rasio lebih tinggi atau Si/Al ³ 1 (Dwyer dan Dyer, 1984).

Kation-kation bervalensi n (Mn+) di luar kerangka zeolit diperlukan untuk menyeimbangkan muatan negatif kerangka zeolit sebagaimana yagn ditunjukkan pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Struktur kerangka zeolit

Kation kation penyeimbang muatan dapat mengalami pertukaran ion ketika zeolit diberi perlakuan penambahan larutan garam atau melalui kontak fisik secara langsung antara kristal-kristal yang bersangkutan. Pertukaran kation oleh kation lain yang berbeda muatan dan ukuran akan berpengaruh terhadap ukuran ronga dan sifat sorbsi zeolit (Hamdan, 1992).

Air kristal yang menempati rongga-rongga zeolit dapat dihilangkan melalui proses pemanasan pada suhu 350 °C. Pada beberapa zeolit pelepasan ari kristal bersifat reversible yakni pelepasan air kristal tidak merubah struktur kerangka zeolit dan posisi kation, sehingga rongga-rongga yang ditinggalkan molekul air kristal dapat digunakan untuk menyerap molekul lain seperti molekul organik maupun anorganik dari tempat lain. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka zeolit biasa digunakan sebagai penyaring molekul (Hamdan, 1992).

Berdasarkan satuan pembangun zeolit (zeolite building units), Meier dan Olson (Barrer, 1978) membagi pembangun kerangka zeolit ke dalam tiga bagian, yakni satuan pembangun primer (primary building units), satuan pembangun sekunder (secondary building units) dan satuan bangunan polyhedral. Struktur satuan pembangun zeolit disajikan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Satuan pembangun zeolit: (a) satuan pembangun primer, (b) satuan pembangun sekunder dan (c) satuan bangun polyhedral

Satuan pembangun primer merupakan bagian terkecil dari kerangka zeolit berupa tetrahedral TO4 (T = Si atau Al). Gabungan dari dua atau lebih tetrahedral TO4 yang membentuk lapisan tunggal atau rantai cincin dinamakan satuan pembangun sekunder. Gabungan beberapa satuan pembangun sekunder membentuk bangunan polyhedral.

Sangkar sodali atau disebut juga sangkar-β merupakan salah satu bangunan polyhedral berbentuk octahedral. Setiap sangkar sodalit tersusun dari 24 tetrahedral silika dan alumina. Bergantung pada cara tersusunnya sangkar sodalit, maka dapat terbentuk struktur kerangka beragam tipe zeolit seperti disajikan pada Gambar 2.3. Jika sangkar-sangkar sodalit tersusun sedemikian rupa tanpa melalui pembentukan cincin-4 ganda maka terbentuk sodalit. Sedangkan jika dihubungkan melalui pembentukan cincin-4 ganda yang terbentuk adalah zeolit A.

Gambar 2.3 Skema pembentukan kerangka beberapa tipe zeolit

Dalam zeolit X dan Y, sangkar-sangkar sodalit terikat melalui cincin-6 ganda sehingga menghasilkan bentuk sangkar yang lebih besar yang terdiri dari 26 satuan tetrahedral (Hamdan, 1992).

Zeolit dengan struktur khas yang dimilikinya, memperlihatkan sifat-sifat fisika dan kimia yang sangat menarik. Beberapa sifat kimia zeolit yang banyak dipelajari dan dimanfaatkan secara luas adalah sifat selektivitas adsorbsi, penukar ion dan katalis aktif. Adanya rongga-rongga berbeda ukuran dalam setiap zeolit yang biasanya ditempati molekul air, merupakan penyebab zeolit memiliki sifat selektivitas adsorbsi. Ketika molekul-molekul air yang menempati rongga-rongga dalam zeolit dilepaskan melalui proses pemanasan, maka ruangan yang ditinggalkan molekul air menjadi kosong dan dimanfaatkan sebagai tempat untuk molekul tamu. Molekul-molekul tamu yang hendak menempati ruangan tersebut dibatasi oleh ukuran rongga. Sebagai contoh dehidrasi kabasit dengan ukuran pori terbuka kurang dari 5 Å mampu menyerap molekul air, metanol, etanol dan asam formiat tetapi tidak eter dan benzena. Faujasite dengan ukuran pori lebih besar mampu menyerap molekul yang lebih besar pula, seperti [C2F5]3N (Hamdan, 1992).

Di dalam zeolit terhidrat, kation-kation penyeimbang muatan dapat dipertukarkan dengan kation lainnya yang berbeda. Pertukaran kation penyeimbang oleh kation lain yang berbeda ukuran dan muatan akan berpengaruh pada ukuran pori dan sifat selektivitas adsorbsi zeolit. Sebagai contoh zeolit Na-A dapat menyerap molekul-molekul dengan ukuran maksimum 4 Å. Apabila ion Na+ dalam zeolit Na-A mengalami pertukaran dengan ion Ca2+ maka ukuran pori zeolit A menjadi lebih besar dan memungkinkan untuk menyerap molekul dengan ukuran 5 Å. Sebaliknya pertukaran ion Na+ oleh ion Li+ menyebabkan ukuran kisi-kisi zeolit A berubah dari 24,99 Å menjadi 24,88 Å (Fajril Akbar, 1996).

Pemanfaatan lain zeolit adalah sebagai katalis heterogen. Peranan dan perilaku katalis zeolit berbeda dengan katalis lainnya karena selain zeolit memiliki sisi-sisi aktif tersebar merata di seluruh permukaan zeolit. Pori-pori zeolit dengan ukuran dan bentuk tertentu memberikan dasar selektivitas terhadap reaktan dan produk reaksi.

II.2.3 Zeolit 4A

Zeolit A merupakan kristal aluminasilika sintetis yang tersusun dari kesatuan mata rantai sangkar sodalit yang berikatan melalui cincin-4 ganda (D4R). Ion-ion Na+, K+ dan Ca2+ merupakan contoh kation penyeimbang yang mungkin terdapat di dalam zeolit A. Diameter kation penyeimbang sangat menentukan ukuran pori-pori zeolit A yang ditempatinya. Misalnya ukuran pori zeolit A dengan kation penyeimbang Na+, K+ dan Ca2+ berturut-turut adalah 4, 6 dan 5 Å. Oleh karena itu sesuai dengan ukuran pori dan jenis kation penyeimbangnya, maka dikenal nama-nama pasaran zeolit A dengan tipe 4A, 6A dan 5A. Dengan demikian zeolit 4A adalah zeolit A dengan kation penyeimbangnya ion Na+ yang dikenal juga sebagai Na-zeolit A atau zeolit Na-A (Breck, 1983).

Zeolit 4A memiliki bentuk kristal kubus dengan panjang sisi sel satuan terkecilnya (a) sebesar 12,23 Å. Kegunaan penting zeolit 4A adalah sebagai pembangun deterjen dan komponen dalam pengolahan air limbah. Zeolit 4A sangat tepat untuk digunakan sebagai pembangun deterjen karena zeolit 4A memiliki selektivitas adsorbsi yang tinggi terhadap ion Ca2+ dan Mg2+ dalam air. Hasil pengujian terhadap zeolit 4A sebagai pembangun deterjen menunjukkan kemampuan deterjennya 8 % lebih rendah daripada kemampuan deterjen dengan natrium tripolifosfat sebagai pembangunnya (de Lucas dkk., 1988). Sebelumnya Donevska dkk. (1985) menemukan bahwa penggantian 50 % natrium tripolifosfat oleh zeolit 4A sebagai pembangun menghasilkan deterjen yang memiliki sifat fisika dan kimia yang sama seperti deterjen yang menggunakan 100 % natrium tripolifosfat sebagai pembangunnya.

II.2.4 Sintesis Zeolit

Sintesis zeolit dengan menggunakan bahan limbah dari suatu proses sebagai bahan dasar, biasanya meliputi tahapan kerja sebagai berikut: preparasi atau pemberian perlakuan awal terhadap bahan dasar, pembentukan dan penyimpanan gel, kristalisasi, pemisahan, pencucian dan pengeringan. Perlakulan awal dilakukan dengan maksud mengaktifkan komponen-komponen yang diperlukan dalam sintesis zeolit sebaliknya mendeaktifkan atau menghilangkan komponen yang tidak diperlukan yang dapat mengganggu sintesis zeolit atau mengotori zeolit hasil sintesis.

Proses pembentukan gel dan kristalisasi merupakan tahap kerja yang sangat penting dalam sintesis zeolit, biasanya tahap kerja tersebut dilakukan di bawah kondisi hidrotermal dalam media beralkali tinggi pada suhu < 300 °C. Larutan NaOH 1-3 M merupakan media yang cocok untuk proses pembentukan gel dan kristalisasi zeolit karena pada kondisi tersebut alumunium berada sebagai spesies aluminat [Al(OH)4]- dan silikon berada sebagai spesies silikat [Si(OH)4] yang sangat berperan dalam proses penyusunan zeolit.

Reaksi pembentuk gel:

[Si(OH)4] + [(Na, Ca/2)Al(OH)4] [(Na, Ca/2)AlSiO4.nH2O](gel) + (4-n)H2O

Reaksi pembentukan kristal zeolit:

[(Na, Ca/2)AlSiO4.nH2O](gel) [(Na, Ca/2)AlSiO4.n*H2O](zeolit) + (n-n*)H2O

(Catalfamo dkk., 1994).

Hsin dan Ting (1990) mengajukan dua postulat mengenai mekanisme pembentukan zeolit yakni mekanisme pengangkutan massa dalam larutan dan mekanisme perubahan fasa padatan.

Gambar 2.4 Mekanisme pengangkutan massa dalam larutan pada sintesis zeolit A (Hsin dkk., 1990)

Melalui mekanisme pengangkutan massa dalam larutan seperti disajikan pada Gambar 2.4, Hsin dan Ting menjelaskan bahwa segera setelah spesies natrium silikat dan aluminat bercampur maka terbentuk dua fasa yakni fasa padat berupa gel amorf dan fasa larutan berupa larutan lewat jenuh. Kedua fasa tersebut berada dalam keadaan kesetimbangan. Gel amorf secara bertahap melarut dan mengalami penataan struktur untuk membentuk spesies yang merupakan bibit inti kristal. Embrio atau inti kristal ini secara lambat muncul dari fasa larutan lewat jenuh yang dilengkapi dari peleburan gel amorf. Tahap ini dikenal sebagai tahap pembentukan inti. Pada tahap ini terjadi kesetimbangan antara bibit inti kristal, gel amorf sisa dan larutan lewat jenuh. Inti kristal yang terbentuk kemudian tumbuh membesar hingga mencapai ukuran kritis (critical size) yang selanjutnya secara cepat tumbuh sebagai kristal. Tahap ini disebut sebagai tahap pembentukan kristal. Selama proses ini berlangsung, maka gel amorf sisa secara bertahap habis melarut dan laju pertumbuhan kristal terus meningkat hingga seluruh inti tumbuh menjadi kristal dan laju pertumbuhan kristal berakhir. Pada tahap pembentukan inti ini, proses pengangkutan spesies ke dalam fasa larutan dan proses pembentukan inti keduanya memegang peranan penting sebagai pengontrol kristalisasi.

II.2.5 Spektroskopi Inframerah dan Struktur Kerangka Dasar Zeolit

Spektroskopi inframerah merupakan salah satu metode mudah dan cepat untuk mengkarakterisasi struktur kerangka dasar zeolit karena vibrasi fundamental struktur kerangka zeolit muncul pada daerah bilangan gelombang 1500-300 cm-1 yang merupakan daerah inframerah sedang.

Vibrasi fundamental struktur kerangka zeolit pada daerah inframerah sedang dapat diklasifikasikan dalam 2 kelas vibrasi, yakni vibrasi internal dan vibrasi eksternal seperti disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Daerah vibrasi inframerah struktur kerangka zeolit disajikan dalam bilangan gelombang cm-1 (Flanigen dkk., 1971)

Vibrasi internal tetrahedral

Daerah vibrasi inframerah

(cm-1)

Vibrasi ulur asimetrik

1250 – 950

Vibrasi ulur simetrik

720 – 650

Vibrasi tekuk T-O

500 – 420

Vibrasi eksternal

Sambungan

Daerah vibrasi inframerah

(cm-1)

Vibrasi cincin ganda

650 – 500

Vibrasi pori

420 – 300

Vibrasi ulur simetrik

820 – 750

Vibrasi ulur asimetrik

1050 – 1150

Frekuensi vibrasi teramati untuk tetrahedral TO4 tidak membedakan antara tetrahedral silika dan alumina, melainkan merupakan frekuensi rerata dari vibrasi kedua tetrahedral. Namun demikian semua puncak yang disebabkan oleh vibrasi internal adalah sangat peka terhadap komposisi dalam struktur kerangka zeolit. Sebagai contoh, dengan adanya peningkatan kandungan Si maka puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 568 cm-1 bergeser ke arah daerah bilangan gelombang lebih tinggi (Hamdan, 1992). Setiap zeolit memiliki pola serapan inframerah yang khas, sehingga spektrogram inframerah dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan beberapa zeolit dalam kelompoknya. Dari beberapa serapan khas zeolit, terdapat dua puncak serapan yang berlaku untuk semua tipe zeolit yakni serapan pada daerah 1250-900 cm-1 dan 500-420 cm-1 (Flanigen dkk., 1971).

Menurut Imbert (1994) rasio puncak serapan pada daerah 650-500/500-420 berhubungan dengan kristalinitas zeolit 4A sintetis. Ini terbukti dari penemuan adanya hubungan linier antara besarnya rasio serapan inframerah tersebut dengan derajat kristalinitas zeolit 4A hasil pengukuran difraksi sinar-X.

II.2.6 Karakterisasi dan Penentuan Kristalinitas dengan Metode Difraksi Sinar-X

Suatu padatan disebut kristal, jika partikel-partikel dalam zat padat tersebut tersusun dalam geometri yang teratur. Suatu kristal biasanya tersusun dari rangkaian satuan-satuan primer yang identik.

Ewald menggunakan percobaan hamburan sinar-X bersudut kecil untuk menyelidiki distribusi ukuran kristal. Garis-garis hamburan yang terjadi dapat memberikan keterangan mengenai ukuran penyusun kristal. Ada dua metode difraksi sinar-X yang telah dikenal yakni metode kristal tunggal yang dikembangkan oleh Laue dan Bragg dan metode serbuk yang dikembangkan oleh Debye dan Hill (Darwanta, 1997).

Garis-garis difraksi sinar-X dari suatu kristal sebenarnya cukup rumit, tetapi Bragg telah menyederhanakannya dengan cara memperhatikan pantulan-pantulan dari bidang kisi kristal dan menunjukkan bahwa setiap sinar-X yang terdifraksi dapat diamati meskipun sinar itu dipantulkan juga oleh satu bidang kristal (Cullity, 1967).

Diagram difraksi Bragg disajikan pada Gambar 2.5. Pada Gambar tersebut, jarak CBD menunjukkan jarak tambahan akibat pemantulan oleh permukaan kristal. Sudut CAB dan BAD sama besarnya sehingga berlaku panjang:

CB = BD = AB Sin θ

CBD = CB + BD

= AB Sin θ + AB Sin θ

CBD = 2 AB Sin θ

Ini berarti suatu gelombang sinar-X hanya dipantulkan jika memenuhi persamaan: = 2d Sin θ.

Gambar 2.5 Diagram difraksi Bragg

λ adalah panjang gelombang sinar-X, d adalah jarak antara tiap satuan bidang pada kisi kristal, θ adalah sudut difraksi dan an adalah tingkat difraksi. Hasil pengamatan dengan menggunakan berkas sianr difraksi menunjukkan bahwa panjang CBD selalu merupakan kelipatan panjang gelombang sinar-X. Sudut yang dibentuk oleh sinar-X datang dan sinar-X terdifraksi adalah 2θ. Kisaran panjang gelombang yang sesuai untuk menganalisa berbagai kristal tergantung jarak d dalam bidang kristal.

Posisi berkas sinar-X suatu kristal tergantung pada ukuran dan bentuk ulangan satuan primer kristal serta panjang sinar-X yang digunakan. Sedangkan intensitas berkas sinar-X terdifraksi tergantung pada jenis atom dan kedudukannya dalam satuan primer kristal. Oleh karena itu setiap kristal zat padat memiliki pola difraksi sinar-X (difraktogram) tertentu yang khas sehingga setiap kristal akan dapat diidentifikasi sekalipun berada dalam campuran (Cullity, 1967).

Difraksi sinar-X serbuk merupakan metode yang sesuai untuk mengkarakterisasi zeolit baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Informasi kualitatif mengenai suatu zeolit dapat diperoleh dengan metode difraksi sinar-X karena daerah sidik jari difraktogram setiap zeolit dapat diperkirakan, yang kemudian dapat dicocokkan dengan difraktogram standar yang sudah ada (Tabel ASTM).

Zeolit kristal murni menghasilkan sebuah difraktogram dengan garis dasar puncak sangat sempit dan rata. Adanya perubahan komposisi dalam struktur kerangka zeolit berpengaruh terhadap posisi puncak pada difraktogram. Sebagai contoh penggantian ikatan Al-O (1,69 Å) oleh ikatan Si-O (1,61 Å) menyebabkan panjang satuan sel menyusut dan jarak d mengecil, akibatnya terjadi pergeseran puncak difraksi ke arah harga 2θ lebih besar (Hamdan, 1992).

Ballmoos (1984) mengemukakan bahwa struktur kristal zeolit A (LTA) akan memunculkan puncak-puncak difraktogram yang khas pada harga d (Å): 2,512; 2,623; 2,751; 2,900; 2,984; 3,289; 3,413; 3,710; 4,102; 4,350; 5,503; 7,104; 8,701 dan 12,305. Puncak-puncak difraktogram zeolit 4A sesuai dengan zeolit Na-A terhidrat (LTA) dengan harga d yang tidak jauh berbeda. Pada tahun 1994, Imbert menemukan bahwa kristalinitas zeolit 4A dapat ditentukan berdasarkan total intensitas 10 puncak khas pada harga d (Å): 2,626; 2,987; 3,278; 3,407; 3,714; 4,107; 5,510; 7,110; 8,710 dan 12,290. Derajat kristalinitas zeolit A meningkat sejalan dengan bertambah besarnya intensitas total kesepuluh puncak khas tersebut. Sebelumnya Costa dkk. (1979) dan Ruiz dkk. (1986) menentukan derajat kristalinitas zeolit 4A hasil sintesis berdasarkan pada harga perbandingan pundak difraktogram zeolit 4A hasil sintesis terhadap zeolit 4A standar (Xc = 100 %) yang didistribusikan oleh Bayer Ltd pada harga 2θ = 23,5 ° (de Lucas dkk., 1988).

II.3 Hipotesis

Salah satu factor yang menentukan kristalinitas zeolit hasil sintesisi adalah kemurnian bahan-bahan yang digunakan dalam proses sintesis. Selain mengandung silika dan alumina sebagai komponen utama yang diperlukan untuk sintesis zeolit, abu layang juga mengandung zat-zat lain yang dinyatakan sebagai pengotor, seperti mineral-mineral yang mengandung logam Ca, Mg, Fe dan Ti serta pengotor lainnya yang belum dapat diidentifikasi. Keberadaan mineral yang mengandung logam pengotor tersebut dapat mengganggu proses sintesis dan mempengaruhi kualitas zeolit hasil sintesis, seperti tampilan warna dan derajat kristalinitas. Beberapa mineral logam di dalam air menunjukkan sifat mudah ditarik material magnetik. Oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan secara magnetik terhadap abu layang asal. Berdasarkan uraian tersebut diajukan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 1: Pemisahan secara magnetik mampu mengurangi kadar mineral logam pengotor bersifat magnetik dari abu layang asal dan selanjutnya mempengaruhi derajat kristalinitas zeolit hasil sintesis dengan bahan dasar abu layang non magnetik.

Pada umumnya komponen seperti mineral pengotor dan komponen lainnya seperti silica dan alumina serta oksida anorganik lainnya memiliki berat jenis yang berbeda-beda dn tidak semuanya bersifat magnetik. Oleh karena itu diusulkan pemisahan ulang terhadap abu layang non magnetik melalui proses fraksinasi. Proses fraksinasi diharapkan dapat memisahkan abu layang non magnetik menjadi beberapa fraksi berdasarkan berat jenisnya. Silika dan alumina amorf yang reaktif dalam pembentukan zeolit diharapkan berada dalam abu layang non magnetik fraksi ringan sedangkan sebagian besar sisa pengotor diperkirakan berada dalam abu layang non magnetik fraksi berat. Oleh karena itu dalam penelitian ini selanjutnya diajukan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 2: Proses fraksinasi mampu mengurangi kadar pengotor magnetik maupun non magnetik dalam abu layang non magnetik fraksi ringan dan selanjutnya mempengaruhi derajat kristalinitas zeolit hasil sintesis dengan bahan dasar fraksi ringan abu layang non magnetik.

Faktor lainnya yang ikut menentukan keberhasilan sintesis serta kualitas zeolit hasil sintesis adalah komposisi kimia campuran reaktan terutama rasio molar Si/Al nya. Kuarsa dan mulit masing-masing berfungsi sebagai sumber silika dan alumina dalam abu layang disamping silika dan alumina amorf. Hasil eksperimen Shigemoto dkk. (1993) menunjukkan bahwa sebagian besar kuarsa dapat dikonversi menjadi natrium silikat pada peleburan abu layang dengan larutan NaOH dalam kondisi hidrotermal. Sedangkan mulit hanya sebagian kecil saja yang dapat dikonversi menjadi natrium aluminat. Hasil eksperimen tersebut didukung oleh penemuan Singer dan Berckgaut (1995) yang melakukan pengukuran difraksi sinar-X berturut-turut terhadap abu layang dan abu layang yang telah diberi perlakuan hidrotermal dalam media larutan alkali. Hasilnya menunjukkan bahwa mulit relatif stabil dan sulit mengalami konversi.

Untuk mengantisipasi kurangnya pasokan alumunium yang diperlukan utnuk sintesis zeolit 4A, maka ke dalam setiap campuran reaktan abu layang non magnetik terfraksinasi dengan NaOH ditambahkan 1, 2 dan 3 g Al(OH)3. Oleh karena itu diajukan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 3: Penambahan Al(OH)3 ke dalam setiap campuran reaktan abu layang non magnetik terfraksinasi yang diacu, dapat mempengaruhi keberhasilan sintesis dan kristalinitas zeolit hasil sintesis.

Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa di dalam abu layang terdapat 8,76 % CaO; 5,18 % Fe2O3 dan 2,26 % TiO2. Sementara itu Catalfamo dkk. (1994) menemukan bahwa adanya ion kalsium ³ 3 % dalam campuran reaktan untuk sintesis zeolit dapat mengganggu berlangsungnya proses kristalisasi, karena ion kalsium dengan silikat menghasilkan endapan stabil kalsium silikat yang mengakibatkan rusaknya gel aluminasilika yang akan tumbuh menjadi zeolit. Oleh karena itu material-material dengan kandungan kalsium ³ 3 % tidak dapat dikonversi menjadi zeolit. Ion besi dan titanium juga memiliki afinitas terhadap silikat meskipun tidak setinggi ion kalsium, namun keberadaannya dapat mengganggu proses kristalisasi.

Untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali gangguan ion kalsium, besi dan titanium terhadap proses kristalisasi zeolit, maka ke dalam campuran reaktan masing-masing abu layang non magnetik terfraksinasi dengan Al(OH)3 ditambahkan Na2EDTA yang diharapkan dapat melakukan pembentukan kompleks yang stabil dengan ion kalsium, besi dan titanium. Oleh karena itu diajukan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 4: Penambahan Na2EDTA dapat mempengaruhi kristalinitas dan kemurnian zeolit hasil sintesis.

BAB III

CARA PENELITIAN

III.1 Alat dan Bahan

III.1.1 Bahan

Dalam penelitian ini digunakan limbah padat berupa abu layang sisa pembakaran batubara yang berasal dari PLTU Suralaya, kabupaten Serang Jawa Barat. Selain itu digunakan juga pereaksi-pereaksi kimia seperti: NaOH, Al(OH)3, Na2EDTA, akuades dan aduabides.

III.1.2 Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat untuk keperluan sintesis dan karakterisasi zeolit. Alat yang dipakai untuk sintesis adalah seperangkat alat refluks yang terdiri dari: labu dasar bulat, pendingin gondok, termometer skala 150 °C, pengatur sirkulasi air, alat pemanas berpengaduk magnetik. Alat untuk keperluan karakterisasi meliputi spektrofotometer inframerah dan serapan atom serta difraktometer sinar-X.

III.2 Jalannya Penelitian

III.2.1 Penyiapan cuplikan abu layang

Abu layang diayak dengan saringan ukuran 270 mesh, kemudian dikeringkan pada suhu 120 °C selama 3 jam. Selanjutnya abu layang tersebut diberi perlakuan pemisahan secara magnetik dan fraksinasi.

III.2.3 Pemisahan abu layang asal secara magnetik

Pemisahan abu layang asal secara magnetik dilakukan dengan prosedur kerja sebagai berikut: Ke dalam gelas kimia 500 mL yang berisi batangan magnetik dan 20 gram cuplikan abu layang asal ditambahkan akuades hingga volumenya menjadi 100 mL. Kemudian campuran tersebut diaduk di atas pemanas berpengaduk magnetik (hot plate magnetic stirrer) selama 30 detik. Selanjutnya batangan magnetik diambil dengan penjepit dan abu layang yang menempel pada batangan magnetik dilepaskan dengan cara penyemprotan menggunakan akuades dalam botol semprot. Langkah kerja memasukkan batangan magnetik, mengaduk, mengambil dan melepaskan abu layang dilakukan berulang-ulang hingga tidak terdapat lagi abu layang yang menempel pada batangan magnetik.

Cuplikan abu layang yang menempel pada batangan magnetik disebut sebagai abu layang magnetik. Sedangkan cuplikan abu layang yang tertinggal di dalam gelas kimia disebut sebagai abu layang non magnetik. Kedua cuplikan abu layang magnetik dan non magnetik kemudian dikeringkan pada suhu 120 °C selama 3 jam. Selanjutnya cuplikan abu layang non magnetik diberi perlakuan pemisahan melalui proses fraksinasi.

III.2.3 Pemisahan abu layang non magnetik melalui proses fraksinasi

Pemisahan abu layang non magnetik secara fraksinasi dilakukan dengan menggunakan tabung fraksinasi berukuran panjang 60 cm, diameter 1,5 cm yang dilengkapi 3 kran lubang pengeluaran berukuran 2 mm (Gambar pada Lampiran 1). Ke dalam tabung fraksinasi dimasukkan campuran 5 gram abu layang non magnetik dan akudes hingga volume tabung fraksinasi terisi penuh. Kemudian campuran dalam tabung tersebut diaduk dengan cara dijungkirbalikan hingga seluruh bagian dalam tabung terlihat homogen. Setelah didiamkan selama kira-kira 3 menit, campuran dalam tabung membentuk tiga bagian yang berbeda, yakni 20 cm bagian atas tabung yang tampak transparan disebut sebagai fraksi-1 atau fraksi ringan, 20 cm bagian tengah tabung yang tampak agak keruh disebut sebagai fraksi-2 atau fraksi sedang dan 20 cm bagian bawah tabung yang tampak sangat keruh disebut sebagai fraksi-3 atau fraksi berat. Masing-masing fraksi abu layang non magnetik tersebut dikeluarkan melalui lubang atas, tengah dan bawah berturut-turut untuk abu layang non magnetik fraksi-1, fraksi-2 dan fraksi-3. Masing-masing fraksi abu layang non magnetik dikeringkan dan ditimbang, kemudian digunakan sebagai sumber silika dan alumina untuk sintesis zeolit.

III.2.4 Sintesis zeolit 4A

Sintesis zeolit 4A dilakukan dengan mengacu pada metode Murat dkk. (1992) yang telah dioptimasi oleh Akbar (1996) dengan prosedur sebagai berikut: 5 gram cuplikan abu layang direaksikan dengan 4 gram NaOH dalam 50 mL pelarut akudes. Campuran kedua reaktan diaduk selama 10 jam. Kemudian campuran tersebut dipanaskan pada suhu 70 °C selama 3 jam hingga campuran berbentuk gel. Untuk mendapatkan kristal zeolit yang diharapkan, campuran gel direfluks pada suhu 100 °C selama 8 jam. Padatan hasilnya disaring dan dicuci dengan akuades sampai diperoleh pH netral pada air cuciannya, kemudian dikeringkan dalam oven pada 120 °C selama 3 jam. Prosedur sintesis yang sama dilakukan dengan menggunakan abu layang asal dan abu layang non magnetik.

Untuk mengkaji pengaruh penambahan Al(OH)3 dan Na2EDTA dilakukan sintesis dengan prosedur yang sama menggunakan abu layang non magnetik terfraksinasi dengan penambahan Al(OH)3 sebanyak 1, 2 dan 3 gram dan Na2EDTA sebanyak 1 gram.

III.2.5 Analisis komposisi kimia

Penentuan kadar unsur-unsur Si, Al, Na, Ca, Fe dan Ti dalam abu layang asal, abu layang magnetik, abu layang non magnetik: fraksi-1, fraksi-2 dan fraksi-3 serta zeolit hasil sintesis dengan spektrofotometer serapan atom dilakukan di Laboratorium Kimia Unsur Akademi Kesehatan Lingkungan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom.

III.2.6 Karakterisasi zeolit dengan spektroskopi inframerah

Untuk mengetahui struktur kerangka zeolit hasil sintesis, dilakukan uji spektroskopi inframerah pada daerah bilangan gelombang 300 – 1500 cm-1. Masing-masing spektra zeolit hasil sintesis dibandingkan terhadap spektra inframerah zeolit 4A hasil penelitian Flanigen dkk. (1971).

III.2.7 Karakterisasi zeolit dengan uji difraksi sinar-X

Untuk mengetahui derajat kristalinitas dan tingkat kemurnian zeolit hasil sintesis, dilakukan karakterisasi dengan uji difraksi sinar-X pada daerah sudut difraksi (2θ): 4 – 40 derajat.

Difraktogram masing-masing zeolit hasil sintesis dibandingkan terhadap difraktogram zeolit 4A standar hasil penelitian Ballmoos (1984).

No comments:

Post a Comment